Setiap anak memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi terbaik di dalam dirinya, sehingga dapat mengukir masa depan yang cerah. Namun, kondisi stunting membuat sebagian anak berkesempatan lebih kecil untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, bahkan beresiko mengalami sejumlah penyakit dan menjadi tidak produktif, yang pada akhirnya dapat menjadi beban bagi keluarga dan negara di usia dewasa.
APA ITU STUNTING?
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi berulang, terutama yang terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Periode 1.000 HPK ini dihitung sejak anak berada dalam kandungan hingga berusia dua tahun. Mengacu pada definisi Kementerian Kesehatan, seorang anak disebut mengalami stunting bila panjang badannya menurut umur (PB/U) atau tinggi badannya menurut umur (TB/U) kurang dari -2SD (standar deviasi) dibandingkan dengan standar baku yang dikeluarkan WHO (WHO-MGRS/Multicentre Growth Reference Study). Kondisi stunting ini juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak dan kesehatan anak.
WHO menyebutkan bahwa anak yang mengalami stunting memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit degeneratif saat ia dewasa. Selain itu, dalam skala yang lebih besar, stunting dan malnutrisi juga diperkirakan menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar 2%-3% per tahun. Secara khusus di Indonesia, berdasarkan analisa Lubina Qureshy dari Bank Dunia di tahun 2013, kerugian akibat stunting diperkirakan mencapai Rp 300 triliun per tahun.
KONDISI STUNTING DI INDONESIA
Stunting telah menjadi masalah yang dihadapi bersama oleh banyak negara. Laporan “UNICEF, WHO, World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, 2021 Edition” yang dikeluarkan pada April 2021 menunjukkan bahwa terdapat 149,2 juta balita atau 22% dari total balita di seluruh dunia mengalami stunting di tahun 2020. Angka ini meningkat dari tahun 2019, yaitu sebanyak 144 juta balita atau 21,3%.
Pandemi diyakini dapat meningkatkan angka balita stunting di dunia sebagai akibat dari pembatasan interaksi sosial secara langsung, yang berpengaruh pula pada akses terhadap gizi dan pelayanan kesehatan.
Di Indonesia, angka prevalensi stunting anak balita sudah menunjukkan trend penurunan dari 37,2% di 2013 (RISKESDAS) menjadi 27.7% di 2019 (SSGBI). Namun ini berarti 1 dari 4 anak balita Indonesia, atau lebih dari 8 juta anak, mengalami stunting. Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung sejak awal 2020 diperkirakan akan berdampak kepada upaya pencegahan stunting dan dapat menambah jumlah anak berisiko stunting.
Oleh karena itu, strategi percepatan penurunan prevalensi stunting harus lebih fokus dengan memprioritaskan area-area yang berdampak paling signifikan terhadap penyebab stunting di masing-masing daerah, program-program harus dirancang berdasarkan data dan analisa situasi yang komprehensif, dieksekusi dengan konsisten, dikawal dengan sistem pengawasan dan evaluasi yang kuat, serta melibatkan berbagai pihak pemerintah, non-pemerintah dan masyarakat.
TANOTO FOUNDATION MEMBANTU PERCEPATAN PENURUNAN PREVALENSI STUNTING
Melalui program SIGAP, Tanoto Foundation mendukung target pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting balita di Indonesia menjadi 14% pada tahun 2024, sesuai dengan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting. Target ini juga sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan untuk mengakhiri semua bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030, termasuk penurunan prevalensi stunting pada balita yang tertuang dalam indikator 2.2.1. Tanoto Foundation berkomitmen untuk mendukung pencapaian target tersebut di Indonesia melalui kerja sama dengan pemerintah dan berbagai mitra.
PENYEBAB MASALAH STUNTING
Dalam menekan prevalensi stunting, upaya penanganan perlu difokuskan pada penyebab masalah stunting. Dalam The Conceptual Framework of the Determinants of Child Undernutrition, UNICEF membagi penyebab stunting menjadi tiga kelompok besar.
STRATEGI PROGRAM SIGAP UNTUK PENCEGAHAN STUNTING
Tanoto Foundation mengambil peran dalam upaya pencegahan stunting lewat gerakan SIGAP yang bertujuan mengatasi penyebab-penyebab stunting. Upaya ini dilakukan dengan strategi mengubah perilaku masyarakat dalam hal pola makan, pola asuh, dan pola hidup bersih dan sehat. Penerima manfaat program pencegahan stunting SIGAP ialah populasi yang berisiko, yakni rumah tangga miskin yang terdiri dari remaja usia 15-19 tahun, pasangan muda, ibu hamil, ibu menyusui, orang tua, dan balita. Dengan strategi ini, SIGAP berharap dapat menurunkan tingkat stunting di Indonesia secara signifikan.
PARA MITRA SIGAP
Sebagai upaya pencegahan stunting, SIGAP melakukan gerakan mulai dari skala nasional, sub-nasional, hingga komunitas.
Nasional
Gerakan ini bertujuan membantu pemerintah dalam hal pengembangan kebijakan dan advokasi terkait program percepatan pencegahan stunting secara nasional.
Sub-nasional
Kegiatan ini bertujuan untuk membantu pemerintah kabupaten dalam mengembangkan dan menerapkan strategi komunikasi perubahan perilaku (KPP) di seluruh kabupaten. Program utama dalam gerakan skala sub-nasional ialah pendampingan teknis strategi KPP kepada pemerintah daerah.
Komunitas
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang stunting dan cara pencegahannya melalui kerja sama dengan berbagai komunitas. Program utama dalam kegiatan tersebut ialah melakukan kampanye publik mengenai kesadaran dan pencegahan stunting dan implementasi KPP berbasis komunitas. Sebagai contoh, Tanoto Foundation bekerja sama dengan Alive & Thrive melakukan studi untuk mengetahui perilaku gizi ibu, bayi dan anak usia dini, serta praktek pengembangan anak usia dini di sejumlah kabupaten. Temuan yang ada kemudian dikembangkan menjadi sejumlah solusi perubahan perilaku berbasis masyarakat untuk meningkatkan nutrisi dan upaya pencegahan stunting secara umum.