Anak Melakukan Bullying, Orang Tua Harus Apa?

 
Ketika seorang anak dapat melakukan bullying pada orang lain, ada yang hilang dalam diri anak, yaitu empati atau kemampuan membayangkan atau mengimajinasikan perasaan dan posisi orang lain.

Data bullying atau perundungan di Indonesia ternyata cukup mengejutkan. Dari data yang diambil dari website DPR RI, dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus bullying masih menjadi teror bagi anak-anak di lingkungan sekolah.

Dari data tersebut diketahui, tercatat terjadi 226 kasus bullying pada tahun 2022. Lalu di tahun 2021 ada 53 kasus, dan tahun 2020 sebanyak 119 kasus. Sementara itu untuk jenis bullying yang sering dialami korban ialah bullying fisik (55,5%), bullying verbal (29,3%), dan bullying psikologis (15,2%). Untuk tingkat jenjang pendidikan, siswa SD menjadi korban bullying terbanyak (26%), diikuti siswa SMP (25%), dan siswa SMA (18,75%). Namun ini semua hanya yang tercatat, belum yang tidak tercatat.

Apa penyebab terjadinya bullying?

Sebagai orang tua, angka di atas bukan hanya sekedar informasi, anak-anak kita yang berada ada dalam populasi anak sekolah cukup erat dengan kasus perundungan. Dapat dipahami bahwa timbul kekhawatiran bagi Ayah dan Bunda, takut jika anak kita kelak menjadi korban atau menjadi pelakunya. Pertanyaan utamanya adalah apa sih sebetulnya sebab perundungan yang terjadi pada siswa? Tentu ini pertanyaan yang sulit karena ada banyak faktor yang mempengaruhi seorang anak melakukan kekerasan satu sama lain.

Ayah dan Bunda, kita akan masuk ke akar perilaku. Ketika seorang anak dapat memukul dan dapat melukai orang lain, ada yang hilang dalam diri anak, yaitu empati atau kemampuan membayangkan atau mengimajinasikan perasaan dan posisi orang lain.

Perundungan dimulai biasanya karena sebuah sebab, mari ambil contoh kasus di suatu sekolah. Anak A memukul anak B, kejadian ini membuat gempar sekolah dan melibatkan orang tua sisawa B yang tidak terima anaknya dipukul. Sikap cepat yang terbayang adalah memberi hukuman kepada A agar jera karena memukul orang lain hingga babak belur. Setelah dicari tahu, sebabnya berawal dari B yang terlebih dulu mengatakan bahwa A anak yang jelek dan tidak ada yang mau berteman dengannya. A merasa tidak terima, kemudian ia mengeluarkan amarahnya dengan memukul B. Dalam situasi ini kita tidak dapat benar-benar menyudutkan A, A bertindak karena sikap B yang tidak memiliki empati. Saat B mengatakan hal buruk tentang A, di situlah B tidak menggunakan empatinya. Ia tidak dapat membayangkan bahwa perkataanya dapat menimbulkan perasaan sakit hati dan terluka. Biasanya, di sinilah akar perundungan di mulai, saat salah satu pihak memulai tidak menggunakan posisi memahami situasi orang lain.

Bagaimana menumbuhkan rasa empati pada anak?

Pertanyaannya, bagaimana seorang anak bisa memiliki empati, atau kemampuan melihat sudut pandang orang lain? Jawabannya adalah diajarkan oleh orang tuanya. Orang tua yang pertama kali menanamkan empati ke anak dari hal sehari-hari. Misal, saat Si Kecil bertanya kenapa ada orang minta-minta di jalan, daripada mengatakan anak itu pemalas, kita bisa jawab, “Mungkin orang tuanya kesulitan hingga ia mesti bekerja, kita dokan ia lebih baik dan tidak minta-minta lagi, ya!” Jawaban ini akan membantu pola berpikir empati pada anak. Ayah dan Bunda dapat membiasakan pola diskusi yang menggunakan sudut pandang orang lain agar anak selalu belajar mengimajinasikan andai ia ada di posisi orang lain.

Empati bukan satu-satunya pendidikan pengasuhan anti perundungan. Banyak faktor yang berpengaruh, seperti membangun iklim keluarga yang penuh kehangatan, kebiasaan orang tua yang secara sadar menghindari perundungan di rumah, dengan menggunakan panggilan seperti si hitam, si gendut, atau si keriting, meskipun maksudnya sebagai panggilan sayang. Si Kecil akan bertumbuh, ia akan belajar mengenali dirinya dengan negatif dari orang tuanya dan ia akan membenarkan sikap hinaan tersebut kemudian melakuan pada orang lain karena ia telah belajar dari orang tuanya.

Penanganan bullying di Indonesia memerlukan pendekatan menyeluruh. Ayah dan Bunda berperan penting dalam mendidik anak tentang empati dan penghormatan. Sekolah juga harus menciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Dengan kerja sama antara Ayah, Bunda, guru, dan komunitas, kita dapat mengurangi kasus bullying dan membangun lingkungan yang positif bagi generasi mendatang. Mari kita bersama menanamkan nilai-nilai kebaikan dan saling menghargai, sehingga anak-anak kita tumbuh menjadi individu yang empatik dan menghormati perbedaan.

Referensi:

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/46802/t/Pemerintah%20Harus%20Petakan%20Faktor%20Penyebab%20Bullying%20Anak

https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-beda-empati-dan-simpati-berikut-penjelasannya-kln.html

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.