Ada cerita tentang seorang Bunda yang bertahan dalam hubungan penuh kekerasan. Berkali-kali ia dianiaya secara fisik dan verbal, namun setiap kali pasangan meminta maaf, ia selalu memberi kesempatan kedua. Banyak orang bertanya-tanya, apa alasan Bunda ini bertahan? Apakah demi cinta, atau karena Si Kecil?
Ternyata, jika ditelusuri lebih dalam, ia memiliki luka masa kecil yang belum sembuh. Ia tumbuh tanpa sosok Ayah yang hadir secara emosional. Ayahnya jarang menafkahi, tidak pernah memeluk, atau memberikan kasih sayang. Ketika bertemu pasangan, ia berharap menemukan sosok Ayah yang hilang, bukan pasangan hidup yang sejajar. Luka masa kecil ini membuatnya terus mencari pengganti, bahkan meski harus mengorbankan dirinya.
Luka Masa Kecil: Warisan yang Menyakitkan
Luka masa kecil, atau sering disebut inner child, adalah pengalaman emosional yang belum terselesaikan sejak kecil. Tanpa disadari, luka ini memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Anak yang emosinya diabaikan mungkin tumbuh menjadi orang dewasa yang sulit percaya pada orang lain. Anak yang sering diejek akan membawa rasa rendah diri hingga dewasa.
Contohnya, Ayah yang sulit mengambil keputusan mungkin dulunya sering dipaksa mengalah atau diabaikan pendapatnya. Contoh lainnya adalah seorang Ayah yang pemarah bisa jadi dulunya tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung secara emosional. Luka masa kecil itu, jika tidak disembuhkan, tumbuh bersama tubuh kita, menghalangi kebahagiaan dan kedewasaan emosional.
Peran Ayah dan Bunda dalam Kehidupan Si Kecil
Ayah dan Bunda memegang peranan besar dalam membentuk karakter Si Kecil. Kasih sayang dan perhatian dari keduanya menjadi fondasi bagi Si Kecil untuk merasa dicintai dan aman. Ketika Si Kecil mendapatkan cinta tanpa syarat, ia belajar untuk menghargai dirinya sendiri dan mampu membangun hubungan sehat di masa depan.
Namun, tidak sedikit orang tua yang tanpa sadar menyakiti Si Kecil karena luka masa kecil mereka sendiri. Luka-luka emosional yang belum disembuhkan seringkali memengaruhi cara seseorang merespons situasi atau mengasuh anak. Misalnya, orang tua yang tumbuh dengan kritikan tajam atau kurangnya penghargaan dari orang tua mereka mungkin cenderung mengulang pola tersebut kepada Si Kecil, karena itulah yang mereka kenal atau anggap wajar. Pengalaman masa kecil yang penuh tekanan ini bisa memicu respons spontan, seperti mengolok-olok fisik Si Kecil dengan sebutan “gendut” atau “bodoh,” atau menolak kebutuhan emosional anak.
Dinamika ini terjadi karena orang tua yang belum menyelesaikan luka masa kecilnya sering kali tidak menyadari bahwa perilaku mereka adalah cerminan dari pengalaman traumatis mereka sendiri. Mereka mungkin merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk disiplin atau candaan, tetapi sebenarnya dapat meninggalkan luka emosional mendalam pada Si Kecil. Penolakan semacam ini membuat Si Kecil merasa tidak berharga, dan luka tersebut berisiko terbawa hingga dewasa, melanggengkan siklus yang menyakitkan dari generasi ke generasi.
Cara Mengatasi Luka Masa Kecil Ayah Bunda dan Mencegahnya pada Si Kecil
Sebagai Ayah dan Bunda, kita perlu menyadari bahwa masa lalu kita bukanlah akhir dari cerita. Luka masa kecil dapat disembuhkan dengan refleksi, pemahaman, dan upaya untuk berubah. Langkah pertama adalah memaafkan diri sendiri dan orang tua kita. Mereka mungkin tidak memiliki ilmu parenting yang cukup saat itu.
Berikut tips untuk Ayah dan Bunda agar tidak mewariskan luka masa kecil pada Si Kecil:
- Luangkan Waktu untuk Si Kecil: Meski sibuk bekerja, sempatkan waktu untuk mendengar cerita Si Kecil. Jadikan ini momen untuk menunjukkan bahwa Ayah dan Bunda peduli.
- Berikan Kasih Sayang yang Konsisten: Peluk dan katakan bahwa Ayah dan Bunda mencintai Si Kecil, bahkan saat ia melakukan kesalahan.
- Berikan Contoh yang Baik: Pulanglah ke rumah dengan sikap hangat. Ambil waktu sejenak untuk menenangkan diri sebelum bertemu Si Kecil, agar hadir dengan emosi yang positif.
- Hindari Kekerasan Fisik dan Verbal: Sampaikan rasa frustrasi dengan cara yang sehat dan penuh empati.
Si Kecil membutuhkan Ayah dan Bunda yang hadir, baik secara fisik maupun emosional. Kehadiran Ayah tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai pendukung utama dalam pengasuhan. Dengan memprioritaskan kebutuhan emosional Si Kecil, kita dapat menciptakan generasi yang lebih tangguh, penuh kasih, dan bebas dari luka masa kecil.
Ditulis Oleh:
Friska Asta Desintia M.Psi.T
Konselor Pendidikan Anak
Referensi:
https://hellosehat.com/mental/inner-child
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-inner-child