Kecerdasan emosional termasuk dalam kecerdasan personal yang merupakan bagian dari kecerdasan majemuk. Anak-anak yang memiliki kecerdasan emosional tinggi artinya memiliki kemampuan untuk mengontrol dan mengelola emosi, bersikap empati, memotivasi diri, mandiri, bertanggung jawab, dan sebagainya. Pentingnya kecerdasan emosional ini harus diajarkan pada anak sedini mungkin. Daniel Goelman menuliskan bahwa sangat penting mengajarkan kecerdasan emosional pada anak-anak untuk memberikan kesempatan mengembangkan potensi terbaik.
Anak-anak juga perlu diizinkan untuk merasakan dan mengkomunikasikan emosi mereka sendiri seperti kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan sebagainya. Hal ini menjadi penting karena inti dari kesehatan emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi dan menyampaikannya secara sehat.
Tips & contoh mengaplikasikan komunikasi yang positif
Menurut psikolog anak Dian Nirmala, budaya pola komunikasi orangtua dan anak di Indonesia umumnya tidak terbiasa untuk menyampaikan pendapat secara langsung, pasti diselingi dengan basa-basi, berputar-putar membahas hal lain, dan sebagainya. Padahal menurutnya, jika komunikasi lancar, anak akan percaya diri, kreatif, dan berani menghadapi berbagai tantangan. Oleh sebab itu, peran keluarga bagi anak sangat penting dan harus sesegera mungkin membangun komunikasi positif dengan anak. Berikut beberapa tipsnya:
Hindari perkataan yang bersifat melarang. Karena tanpa disadari sebagai orangtua akan sering mengucapkan “Jangan!” padahal larangan ini bisa membuat anak jadi salah paham dan cenderung menilai orang tua mengekang. Dibanding menggunakan kata larangan, gantilah dengan ungkapan yang lebih baik. Misalnya, “Jangan minum es terlalu banyak!” ganti dengan kalimat “Minum es terlalu banyak bisa membuatmu flu, kurangi sedikit ya.”
Dengarkan anak bicara. Poin ini sebaiknya harus segera diubah jika Anda adalah tipe orangtua yang enggan mendengarkan anak bicara. Luangkan waktumu sedikit dan ajak anak bicara santai selama beberapa waktu, biarkan dia mencurahkan kegiatannya di sekolah ataupun di teman bermainnya. Jika hal ini dilakukan, maka komunikasi positif akan secara otomatis terbangunnya quality time.
Hindari mencela dan menghakimi. Jangan pernah Anda mencela atau menghakimi anak jika anak melakukan kesalahan. Karena hanya akan membuat anak malas untuk bercerita di kemudian hari.
Tidak membandingkan anak. Tindakan ini akan mengurangi rasa percaya diri anak, lebih baik buat diri Anda sendiri sebagai contoh, seperti “Dulu waktu Ibu seusiamu, Ibu akan berusaha menyimpan sepatu usai dipakai.”
Contoh kalimat-kalimat yang harus diganti agar bermakna positif
Setelah memahami tips mengaplikasikan komunikasi positif, kali ini adalah beberapa contoh kalimat yang seharusnya diganti agar lebih terdengar positif bagi anak.
Hindari memakai kalimat, “jangan lari-lari nanti jatuh!” tapi pakai kalimat, “Berjalan saja, Nak.”
Jangan gunakan, “ya sudah diem ah, begitu saja nangis.” tapi gunakan kalimat, “Adek boleh selesaikan dulu nangisnya kalau masih sedih, tapi habis itu kita ngobrol ya, bunda tungguin di sini.”
Kalimat, “Kan sudah dibilangin kalau minum susu hati-hati, jadi tumpah kemana-mana kan. Bunda capek bersihinnya.” Ganti dengan, “Adek tahu apa yang harus dilakukan? Kalau belum tahu, Bunda kasih tahu apa yang harus dilakukan ya.”
Kalimat, “berisik bener nggak tahu Bunda lagi pusing ya? Bikin emosi saja!” ganti dengan, “Dek, maaf Bunda kurang nyaman dengan suaranya. Boleh dilembutkan sedikit sayang?”
Menggunakan kalimat positif untuk sehari-hari memang bukanlah hal yang mudah, tapi kalimat positif dapat menjadi alat efektif untuk mendukung proses penyembuhan dan pengelolaan emosi yang lebih sehat.