Mengelola Emosi dalam Hubungan Suami Istri

 

Ayah dan Bunda, dalam kehidupan berumah tangga tidak dipungkiri pertengkaran dan perdebatan menjadi menu sehari-hari dalam berkomunikasi. Jika pada masa penjajakan dulu pertengkaran dapat diselesaikan, beberapa permasalahan di rumah tangga mungkin malah semakin membesar. Namun demikian, hal itu terjadi karena faktor pemicu pertengkaran dalam rumah tangga semakin banyak. Jika dulu hanya bertanggungjawab pada diri sendiri, saat sudah menikah ada sosok si Kecil sehingga peran dan tugas juga semakin bertambah, kehidupan semakin ramai dan berwarna. Menikah sendiri dalam psikologi merupakan salah satu tugas perkembangan di masa dewasa awal. Usia dewasa awal ini berumur 18 sampai 40 tahun, tugasnya adalah membangun hubungan dengan orang lain dan juga menyesuaikan diri pada pola-pola hidup yang baru. Pernikahan yang dilakukan di usia tersebut sebetulnya sudah masuk dalam kategori siap. Meskipun Ayah dan Bunda menikah di usia siap, tetap saja terjadi konflik, kenapa, ya?

Konflik sendiri dalam rumah tangga itu suatu yang wajar saja. Konflik tidak selalu berarti suatu perkawinan itu tidak baik atau tidak bahagia. Konflik malahan merupakan tanda yang sehat untuk memperkokoh hubungan perkawinan. Suatu perkawinan yang tidak pernah mengalami konflik justru merupakan ciri yang kurang baik. Di dalam perkawinan tanpa konflik menandakan tidak adanya pengungkapan perasaan dari satu atau kedua belah pihak. Tidak adanya konflik juga bisa jadi tanda adanya tekanan dalam pernikahan, pada beberapa pasangan mungkin saja untuk mempertahankan kesan bahwa perkawinan mereka baik-baik saja. Jadi pertengkaran Ayah dan Bunda yang terjadi selama ini adalah sebuah pertanda komunikasi berjalan seimbang dan emosi satu sama lain tersampaikan. Namun demikian, kalau sering bertengkar juga bukan sebuah pertanda baik, apalagi jika sampai menyakiti satu sama lain baik secara perkataan atau bahkan perbuatan.

Jika berbicara emosi, kedua belah pihak sebetulnya punya tanggung jawab menjaga emosinya. Pengelola konflik atau lebih yang dikenal dengan manajemen konflik adalah seni pengaturan atau pengelolaan berbagai konflik yang ada untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan oleh Ayah dan Bunda. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen konflik salah satunya kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dalam rumah tangga adalah pengenalan diri, Ayah dan Bunda memahami betul apa yang membuat diri kita kesal atau marah dan membuat antisipasinya. Misal, Ayah tahu betul yang membuat dirinya kesal adalah jika ada sesuatu yang tidak terencana, sementara Bunda adalah orang yang spontan tidak suka perencanaan. Dengan Ayah mengenal dirinya, Ayah akan punya antisipasi dalam mengelola rasa kesal yang akan datang dalam situasi ini. Berbekal pengenalan diri ini Ayah akan bersiap mengelola emosi dan mencari cara untuk meyelesaikan jika pemicu emosi itu datang.

Jika Ayah dan Bunda masing-masing mengenali pemicu emosinya, Ayah dan Bunda akan lebih tenang dan jauh dari sikap menyerang dan suka marah-marah sampai meledak-ledak. Bahkan mampu berpikir objektif, seperti mampu berpikir bahwa mungkin Bunda selama ini tidak tahu bahwa Ayah tidak suka spontan, Bunda juga sebetulnya bingung bagaimana merencanakan sesuatu hingga detil. Setalah tenang kita memang akan jadi bisa melihat sudut pandang satu sama lain. Setelah mengenal diri sendiri selanjutnya Ayah dan Bunda akan belajar saling mengenal emosi satu sama lain. Sebesar itu dampak kecerdasan emosi dalam berumah tangga. Pertengkaran yang terus menerus akan menjadi lebih sedikit, sesekali pertengkaran ternyata sehat, satu sama lain saling mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan terbuka.

Sumber :

Sari, Teti Devita; Widyastuti, Ami. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Kemampuan Manajemen Konflik Pada Istri.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.