Teori sih Mudah, Praktiknya Susah

 

Ayah dan Bunda, saat membaca aneka ragam teori pengasuhan rasanya asik dan menyenangkan. Namun kenapa saat menjalankan praktiknya susah luar biasa, ya. Apalagi kalau emosi sudah membuncah, semua yang kita pahami dan yakini hilang seketika tanpa tersisa di dalam ingatan. Seringkali kita sebagai orang tua mendapati seperti kehabisan akal, tidak sabar, merasa jahat, begitu marah pada hal sehari-hari, bahkan tak menutup kemungkinan kita sebagai orang tua sangat kewalahan hingga memukul dan menyakiti Si Kecil. Kadang kala juga menangis dan merasa gagal menjadi orang tua. Ayah dan Bunda tidak sendirian menjalani perasaan demikian, perasan seperti itu wajar terjadi.

Hal yang paling penting, jika Ayah dan Bunda merasa demikian, itu semua bukan sepenuhnya salah Ayah dan Bunda. Tidak ada pelatihan dan sekolah khusus untuk menjadi orang tua yang sabar, hampir tidak ada bantuan, dukungan, pelatihan yang mempersiapkan diri menjadi orang tua. Jika ada pemadam kebakaran, tidak ada pemadam emosi orang tua yang siap sedia datang saat Ayah dan Bunda sedang mengalami kebakaran emosi kepada Si Kecil. Jadi, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, kita semua tidak benar-benar dipersiapkan menjadi orang tua, peran ini dijalani sambil belajar. Berikut beberapa tindakan dan solusi yang yang banyak sekali dibahas di teori namun sulit menjalankannya.

Memberikan label pada anak seringkali menjadi perilaku yang terjadi tanpa disadari, “Nakal kamu!” “Malas kamu!” Memang saat spontan sulit ya kita meregulasi diri, semua kata itu terucap begitu saja. Hal yang perlu dilakukan saat sedang marah adalah diam dulu, diam membantu memberi pikiran dan ucapan jeda. Tidak perlu teori yang sulit, hitung saja dalam hati 1 sampai 10 agar ada waktu pikiran dan ucapan berjarak. Jika sudah tenang, Ayah dan Bunda pasti dapat berpikir lebih tenang dan bijaksana dengan kata yang lebih tepat sasaran. Misal saat Si Kecil agresif daripada mengatakan nakal maka gantilah dengan, kalimat “Kakak kalau tidak suka, Kakak Bilang tidak suka ya ”. Saat dilakukan ketika hati tenang, tentu tidak susah kan ya Ayah dan Bunda mengucapkah hal demikian.

Selain memberi label, kekerasan fisik dan bentakan juga lumrah dilakukan saat Ayah dan Bunda sudah kesal sekali, Ayah dan Bunda mungkin berpikir cubitan, pukulan, teriakan akan membuat anak menurut. Faktanya tidak begitu, cubitan dan amarah malah akan membuat Si Kecil tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan agresif membenarkan tindakan demikian. Saat kesal sekali sebetulnya Ayah dan Bunda tidak perlu teori yang sulit, cukup kembali berhitung atau pergi dari depan Si Kecil agar ada jeda antara emosi marah dan gerakan tangan. Saat tangan sudah mencubit dan memukul Si Kecil, mulut sudah mengucap makian percayalah Si Kecil pasti akan tetap menjadi anak Ayah dan Bunda, ia tidak akan menolak menjadi anak, namun bekas trauma itu tidak akan mudah hilang begitu saja dari ingatan Si Kecil.

Teori memang tidak semudah praktik, namun bukan berarti itu tidak mungkin dilakukan. Mulailah dari hal paling dasar yaitu meregulasi emosi, mengelola amarah dengan hitungan dan menghindar sejenak. Hal-hal ini tidak sulit dilakukan jika sudah menjadi kebiasaan Ayah dan Bunda sehari-hari. Yuk sama-sama belajar menjadi orang tua untuk Ayah dan Bunda.

Referensi :

Handinhandparenting.com. Why Is It So Hard to Be a Patient Parent?

25 Agustus 2021. https://www.handinhandparenting.org/2018/08/why-so-hard-to-be-patient-parent/

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.