Menjaga Kesehatan Mental Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus

 
Sebelum menikah dan memutuskan memiliki anak sebaiknya kita sudah mulai mencari ilmu parenting, saat ini mudah sekali mencari ilmu tentang parenting di social media.

Memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia pada setiap tanggal 10 Oktober, tim Penulis SIGAP mengajak diskusi Friska Asta, seorang Psikolog anak dan juga Influencer Instagram yang kerap melakukan edukasi mengenai pola asuh dan pendidikan untuk sama-sama membahas mengenai kesehatan mental orangtua. Pembahasan kali ini secara spesifik adalah kesehatan mental orangtua dengan anak berkebutuhan khusus (ABK).

Hai Kak Friska, persiapan menjadi orangtua anak normal itu tentu tidak mudah, apa saja ya yang harus dilakukan ?
Sebelum menikah dan memutuskan memiliki anak sebaiknya kita sudah mulai mencari ilmu parenting, saat ini mudah sekali mencari ilmu tentang parenting di sosial media. Menjadi orang tua dibilang mudah ya mudah karena jutaan orang sudah melalui menjadi orang tua, namun apakah menjadi orang tua yang berhasil menciptakan generasi yang penuh dengan empati dan kasih sayang itu yang sulit. Kadangkal urusan kita dengan diri sendiri saja banyak belum selesai, banyak mimpi yang ingin diraih, banyak harapan sekitar yang ingin kita tunaikan sementara kita juga mesti membagi hidup kita dengan anak-anak, nantinya akan ada konflik batin dalam membesarkan anak. Belum lagi jika Tuhan menitipkan anak dengan kebutuhan khusus, tentu itu sangat menguras emosi dan energi untuk menerima dan mempelajari cara mendidik anak dengan kebutuhan khusus. Untuk itu sebelum menikah penting sekali mencicil ilmu parenting.

Bagaimana dengan orangtua yang memiliki ABK, apakah persiapannya berbeda?
Tidak ada orang tua yang tahu bahwa ia akan memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Biasanya orang tua akan tahu di usia anak tertentu saat tanda-tanda nya sudah muncul satu persatu. Hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah terbuka, terbuka pada situasi dimana bisa jadi anak kita tidak tumbuh seperti anak lain. Dengan menerima akan membuka langkah penanganan yang tepat. Namun saat terus menerus menolak maka anak tidak mendapatkan penanganan yang maksimal dan tepat. Bacalah banyak informasi dan pengalaman orang tua dengan situasi serupa agar mendapatkan cara pandang yang lebih optimis, temui ahli agar mendapat jawaban yang tepat.

Dari segi perkembangan dan pola asuh, apaka ABK butuh perhatian ekstra jika dibandingkan dengan anak normal?
Tentu saja selain perhatian ekstra juga biaya ekstra. Anak mungkin saja harus melalui terapi, pengobatan medis, pemeriksaan dan lain sebagainya. Di beberapa rumah sakit daerah sudah menyediakan layanan ini, namun tetap saja ada energi lebih yang mesti diberikan. Pentingnya support system dalam menghadapi situasi ini sangat berpengaruh pada kekuatan orang tua menghadapi situasi ini.

Seringnya orangtua dengan ABK akan cenderung menyalahkan dirinya sendiri, kenapa?
Mungkin karena bingung mau bagaimana menghadapi situasi tersebut sehingga menyalahkan diri sendiri akan terasa lebih baik. Jika orang tua merasa demikian temui konsultan atau ahli agar mendapatkan pandangan yang berimbang. Situasi yang dihadapi bukan untuk mencari siapa yang salah melainkan menemukan solusi terbaik bagi anak agar dapat berkembang dengan optimal dan terbaik.

Bagaimana caranya berdamai dengan keadaan?
Manusia tidak bisa serta merta berdamai begitu saja pada keadaan yang tidak mudah. Ada tahapan penerimaan, Ada lima tahapan penerimaan diri sampai seseorang dapat benar-benar menerima situasi yang terjadi padanya. Seseorang harus melewati semua tahap sampai akhirnya bisa menerima. Dimulai dengan penolakan (denial), lalu marah (anger), berlanjut pada tawar – menawar (bargaining), masuk ke fase depresi (depression) dan berakhir pada penerimaan (acceptance).

Apa saja tips-tips yang dapat dilakukan oleh orangtua dengan ABK untuk tetap menjaga kesehatan mental sebagai orangtua?
Paling utama adalah diskusi dengan pasangan, pastikan Ayah dan Bunda punya pandangan yang sama dan juga visi yang sama terhadap anak. Akan sulit jika salah satu pihak menerima satunya menolak. Selanjutnya carilah support system, entah teman, orang tua atau komunitas. Masing-masing kebutuhan khusus memiliki komunitasnya sendiri. Carilah komunitas tersebut, banyak diskusi dengan orang lain yang mengalami situasi yang sama. Jangan sungkan untuk berdiskusi dengan ahli jika merasa emosi berat sekali.

Sumber :
Wawancara Online dengan Friska Asta Desintia , Psikolog Pendidikan & Anak & pemilik Lembaga Psikologi Biometrika
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6338422/hari-kesehatan-mental-sedunia-2022-tema-sejarah-dan-twibbon
https://covid19.go.id/id/p/berita/hari-kesehatan-mental-sedunia-kesehatan-mental-sama-pentingnya-dengan-kesehatan-jasmani

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.