Pandemi dan Infodemi, Dua Hal yang “Mengerikan“

 

Hai Ayah Bunda, apakabarnya? Kita semua sedang memasuki pertengahan tahun ke-2 pandemi COVID-19. Tentunya beragam rutinitas kehidupan bergeser bahkan berubah. Semua manusia di muka bumi mulai menghidupkan “survival mode” nya untuk tetap bertahan dan beradaptasi di pandemi yang masih belum terlihat ujungnya. Kondisi pandemi di era digital yang serba mudah mengakses beragam informasi ini rupanya tidak selalu menguntungkan. Berita yang diterima masyrakat dapat berasal darimana saja. Mulai dari situs resmi hingga tautan-tatan tak bertuan yang memenuhi sosial media dan grup chat pribadi. Tanpa disadari, apapun yang menjadi viral, seolah bisa dipercaya padahal tidak selalu seperti itu. Selain menjalankan protokol kesehatan, sebaiknya kita pun harus pandai melakukan seleksi literasi digital agar terhindar dari Infodemi.

Menurut Wold Health Organization (WHO), Organisasi Kesehatan Dunia, Infodemi adalah informasi berlebihan mengenai COVID-19 yand diberitakan secara daring atau luring. Informasi yang disebarkan biasanya akan meresahkan masyarakat, misalnya mengenai bahaya vaksin yang belum terbukti kebenarannya. Selain itu, metode-metode penyembuhan COVID-19 yang tidak berbasis teori apapun juga sering mengisi tautan-tautan sosial media.

Dirjen Aplikasi Informatika (aptika) dari Kementrian Kominfo menyampaikan bahwa ada tiga jenis Infodemiyang beredar di masyarakat, diantaranya adalah (1) misinformasi yaitu penyebaran informasi yang tidak tepat akibat adanya ketidaktahuan akan informasi yang tepat; (2) disinformasi atau penyebaran informasi yang tidak tepat dan bersifat destruktif secara sengaja; dan (3) malinformasi atau penyebaran informasi faktual untuk merugikan pihak-pihak tertentu.

Lalu apa saja efek dari infodemi ini? Menurut Dirjen Aptika, ketidakseragaman berita yang tersebar dan terterima di masyarakat inilah yang membuat masyarakat menjadi antipati pada pandemi itu sendiri sehingga tidak jarang mereka melalaikan prokes, anti vaksin atau enggan melakukan tes swab hanya karena termakan oleh hoaks yang mereka dapatkan. Keadaan seperti ini tentu saja menyulitkan pemerintah untuk menyelesaikan pandemi.

Hingga akhir tahun 2020, Kominfo telah melakukan take down sebanyak 1759 dari 2020 konten hoaks yang ditemui. Selain itu Kominfo juga menambahkan agar kita sebagai masyarakat untuk dapat lebih cerdas dan kritis dalam menyeleksi konten literasi digital yang diperoleh degan cara klarifikasi yaitu memeriksa sumber pengirim berita, fakta-fakta yang dikutip. Selain itu kita juga harus pandai menganalisa sejak kapan situs atau akun yang mempublikasikan berita tersebut berdiri. Jika akun atau situsnya usianya baru muncul bersamaan dengan beritanya, maka kita sebagai pembaca harus menaruh curiga untuk dapat melajutkan proses klarifikasi.

Rupanya dampak infodemi tidak kalah bahaya dengan Pandemi ya, Ayah dan Bunda. Maka dari itu kita harus pandai-pandai memilih berita yang sampai pada kita. Daripada melanjutkan berita tersebut ke orang-orang lain, sebaiknya lakukan klarifikasi untuk mengetahui kebenarannya.

Sumber :

Siaran Pers No. 135/HM/KOMINFO/10/2020 : Hadapi Infodemi Covid-19, Kominfo Gencarkan Literasi Digital Senin, 19 Oktober 2020

https://www.kominfo.go.id/content/detail/30238/siaran-pers-no-135hmkominfo102020-tentang-hadapi-infodemi-covid-19-kominfo-gencarkan-literasi-digital/0/siaran_pers

Memahami Infodemi Agar Tak terjebak Hoaks Covid-19, (13 Februari 2021)

https://katadata.co.id/ariemega/berita/6027697b63b8f/memahami-infodemi-agar-tak-terjebak-hoaks-covid-19

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.